Sekolah Tinggi Diakones HKBP (STTD – HKBP) terletak di kota Balige beralamat di Jalan Gereja – Kapernaum, No. 17 TOBASA, SUMUT – INDONESIA. STTD – HKBP berdiri pada tanggal 17 Mei 1971. Pada mulanya sekolah ini disebut “Kursus Diakones” setelah berjalan setahun diganti menjadi Pendidikan Diakones dengan lama pendidikan 2 (dua) tahun. Tahun 1982, Kursus Diakones diterima menjadi salah satu lembaga HKBP yang dinamakan “Lembaga Pendidikan Diakones HKBP.
1 Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia oleh: Sando Sasako Penerbit: CV Serabdi Sakti Jakarta, Januari 20162 Silahkan berkontribusi terhadap publika. Mahasiswi Sekolah Bibelvrouw HKBP Laguboti juga mempelajari ilmu teologi seperti Sekolah Tinggi Teologi, namun lebih mengutamakan teologi pratika yakni penginjilan, pembinaan, dan lain sebagainya, sedangkan jenjang pendidikannya.
Tahun Ajaran 1989/1990 Program Pendidikan Diakones menjadi 3 (tiga) tahun. Sejak bulan Mei 2013 lembaga ini bernama SEKOLAH TINGGI TEOLOGI DIAKONES HKBPProdi Pastoral Konseling dengan izin operasional Pemerintah No DJ.III/Kep/HK.005/195/2013, dan sejak Tahun Ajaran 2013/2014 menjadi Stratum Satu (S-1) dengan masa pendidikan menjadi 4 (empat) tahun. VISI & MISI Visi: Mempersiapkan diakones yang melakukan pelayanan pastoral dan diakonia di gereja dan masyarakat Misi. Menyelenggarakan pendidikan pastoral dan Diakonia yang berkwalitas, relevan sesuai dengan kebutuhan gereja dan masyarakat melalui berbagai disiplin ilmu theologi, sosial, dan kesehatan.
Menata dan mengembangkan suatu sistem persekutuan dan pembelajaran yang Kristiani. Mengembangkan keterampilan dan kecakapan pastoral untuk menunjang pelayanan diakonia ditengah-tengah persoalan masyarakat yang semakin kompleks. Mengembangkan SDM yang mandiri dan profesional secara berkelanjutan. Menyelenggarakan pemberdayaan pastoral dan diakonia bagi jemaat dan masyarakat.
Membina dan meningkatkan kerjasama dengan Gereja dan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan internasional. Memperlengkapi dan mengembangkan sarana pembelajaran.
SISTEM KREDIT SEMESTER Semester adalah satuan waktu terkecil untuk menyatakan lamanya suatu program pendidikan dalam suatu jenjang pendidikan. Dengan pengertian ini mahasiswi menyelesaikan program satu jenjang lengkap yang dibagi-bagi ke dalam program semesteran. Satu semester setara dengan 17-18 minggu kerja termasuk evaluasi tengah semester dan akhir semester. Sistem kredit adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang mencakup beban studi mahasiswi, beban kerja, tenaga pengajar dan beban penyelenggaraan program pendidikan yang dinyatakan dalam kredit. Satuan kredit semester disingkat SKS, adalah takaran bobot atau harga terhadap pengalaman belajar yang diperoleh dalam mata kuliah tertentu selama satu semester.
Suatu mata kuliah berbobot atau berharga 1 SKS, dalam setiap minggu selama satu semester terdapat kegiatan-kegiatan belajar sebagai berikut:. 50 menit kegiatan belajar tatap muka (kuliah atau seminar di kelas). 60 menit kegiatan belajar terstruktur yaitu kegiatan belajar yang tidak terjadwal tetapi direncanakan oleh pengajar, misalnya dalam bentuk mengerjakan pekerjaan rumah atau soal-soal.
60 menit kegiatan belajar mandiri, yaitu kegiatan belajar yang harus dilakukan sendiri oleh mahasiswi untuk mendalami bahan kuliah, misalnya mempersiapkan catatan kuliah, diskusi, membaca buku sumber dan lain-lain. Untuk praktikum 1 SKS berbobot 6-8 jam kegiatan praktikum seminggu selama 1 semester dilakukan secara efektif. Jumlah jam ini termasuk kerja lapangan dan laporan-laporan. Dalam masa transisi, program Pendidikan Diakones ini dapat ditempuh dengan menyelesaikan sekurang-kurangnya 165 SKS jangka waktu 4 tahun dengan indeks prestasi sekurang-kurangnya 2,75.
PEREMPUAN HKBP: Kedudukan dan Peranannya Dalam Gereja, Budaya dan Masyarakat Plural (Oleh: Pdt Dr Jamilin Sirait) Pengantar Kesetaraan gender merupakan salah satu tema diskursus penting sejak tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan munculnya tulisan-tulisan dan diskusi tentang Teologi Feminis di Barat yang membahas masalah ini. Tulisan dan diskusi itu kemudian berkembang hingga ke Negara sedang berkembang, termasuk ke Indonesia. Sejak saat itu, berbagai seminar dan pertemuan membahas kesetaraan gender semakin menarik perhatian banyak kalangan, khususnya kaum perempuan.
HKBP telah mengadakan konferensi atau musyawarah perempuan sebanyak tiga kali yaitu tanggal 3-8 Nopember 1989 di Pematang Siantar, tanggal 29 Juli – 1 Agustus 1997 di Medan, dan 7-11 April 2002 di Seminarium Sipoholon. Ketiga musyawarah atau konferensi itu telah menghasilkan banyak rekomendasi yang perlu ditindak-lanjuti di HKBP. Agar bisa menjadi pembelajaran dan sumber untuk yang menjadi perbandingan untuk mendorong kita berbicara lebih bersemangat serta berbagi pengalaman dalam konferensi ini, pesan-pesan ketiga konferensi ini akan dimuat sebagai lampiran dalam makalah ini. Sebenarnya sebagai manusia, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan, kesamaan harkat dan martabat di hadapan Sang Pencipta.
3:28 disebutkan: tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Dalam konteks berbangsa, UUD 1945 pasal 27 menegaskan: semua warga sama di hadapan Allah. Artinya di dalam gereja dan Negara, secara personal baik laki-laki atau perempuan; secara komunal, suku-suku dan marga yang begitu banyak; secara komunitas, semua agama dan budaya, setiap dan/atau semua warga masyarakat Indonesia menurut pengelompokan itu kedudukannya sama dan setara, tidak ada warga kelas satu atau kelas dua. Tetapi apakah teorinya sudah seindah pelaksanaan? Apakah laki-laki dan perempuan sudah dihargai sama di dalam masyarakat dan gereja?
Mengapa diskusis seperti ini masih diperlukan? Pertama-tama harus kita katakan bahwa pemahaman tentang kesetaraan gender itu masih berbeda-beda. Ada kelompok agama yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam atau pemimpin. Tetapi dari komunitas agama yang sama juga menegaskan, tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin bahkan menjadi pimpinan bangsa pun tidak ada larangan yang jelas. Perdebatan seperti ini terjadi ketika Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden RI ke-5. Ada kelompok yang menentang pencalonannya menjadi Presiden RI yang didasarkan pada penafsiran dan pemahaman mereka terhadap ajaran agama Islam.
Tetapi sebagian lainnya dapat menerima dengan alasan bahwa imam dalam ritual agama berbeda dengan pemimpin suatu bangsa yang tidak didasarkan pada Undang-undang Agama. Larangan terhadap perempuan menjadi imam dalam ritual agama jelas. Contoh ini menyiratkan bahwa diskusi tentang kesetaraan gender, secara khusus peningkatan kualitas dan kuantitas peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan masih diperlukan. Kenyataannya, peran dan keterlibatan wanita dalam segala bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan di luar rumah, seringkali masih mendapat banyak mendapat hambatan dan tantangan denga berbagai dalih.
Di sebagian kelompok masyarakat masih melekat anggaran bahwa perempuan itu lemah, hanya cocok sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak dan melayani suami. Oleh sebab itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan menduduki jabatan pimpinan sebab kemudian di rumah dia menjadi ibu rumah tangga, merawat anak dan melayani suami.
Anehnya, keadaan seperti ini diterima oleh sebagian perempuan sebagai bagian dari kodratnya yang dilakukan dengan senang hati tanpa ada protes dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tema ini diangkat kembali dengan tujuan: (pertama), mengingatkan kembali bahwa kajian dan dikusi kesetaraan gender sudah dilakukan berkali-kali, tetapi perlu dicermati mengapa justeru ketidak-setaraan yang masih sering nampak; (kedua), sejauh mana pemahaman kita tentang kesetaraan gender?
(ketiga), apa yang harus dilakukan HKBP ke depan agar kesetaraan itu dipahami dengan benar dalam pengertian, perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam semua bidang pekerjaan? (keempat), kualifikasi kualitas apa yang harus dimiliki perempuan ke depan ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka di dalam makalah ini akan dibahas kedudukan, peran perempuan di dalam Alkitab, budaya Batak dan masyarakat majemuk. Perempuan di dalam Alkitab dan Gereja Untuk lebih mendalami peran perempuan HKBP di dalam gereja dan masyarakat kita perlu membaca ulang apa yang dicatat dalam Alkitab tentang perempuan. Apakah perempuan sejak benar-benar dimarginalisasi dan diviktimalisasi oleh laki-laki sejak dahulu hingga ke masyarakat Batak atau justeru sebaliknya perannya sangat besar tetapi sering terabaikan dalam sejarah akan kita lihat.
Dalam Alkitab, perempuan maupun laki-laki bertindak dalam sejarah dan membentuk kehidupan social-politik, budaya dan keagamaan pada masa lampau (Elizabeth, Untuk Mengenang, hal. Oleh sebab itu tafsir tentang penciptaan manusia menjadi penting. Barangkali permasalahan pertama terjadi karena tafsir yang berbeda. Tafsir yang membuat subordinasi perempuan kepada laki-laki masih mengemuka. Oleh sebab itu, tafsir terhadap Kej.1-2 tentang penciptaan harus kita lihat dari sudut pandang yang obyektif dan kontekstual sehingga kita dapat menangkap makna yang sebenarnya. Manusia, baik laki-laki ataupun perempuan adalah imago Dei, gambar Allah, sehingga keduanya setara.
Dengan demikian, kata ezer tidak sepatutnya diterjemahkan sebagai penolong dalam arti membantu, tetapi pembagian kerja. Di dalam Kitab Kejadian, peran menonjol dari perempuan tidak banyak dituliskan. Tetapi sejak Kitab Keluaran, penyelamatan dan perjalanan umat Allah, cerita tentang tokoh-tokoh perempuan semakin menonjol.
Pua dan Sifra adalah bidan yang menyelamatkan bayi-bayi Israel dari rencana pembunuhan yang dilakukan Raja Firaun (Keluaran 1). Miryam (saudari Musa dan Harun) adalah seorang nabiah (Keluaran 15:20). Debora adalah seorang nabiah dan Hakim di Israel (Hakim-hakim 4:4). Ester adalah seorang ratu yang menyelamatkan bangsanya (Kitab Ester). Ruth, yang keturunannya kelak akan melahirkan Yesus (silsilah Yesus) adalah seorang perempuan bukan-Yahudi yang benar-benar taat kepada agama Yahudi.
Dalam sejarah penebusan Allah, Yesaya mengatakan: “sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak-anak, dan ia akan menamakan Dia Immanuel” (Yes. Dalam Perjanjian Baru hal ini lebih jelas. Baik laki-laki maupun perempuan dipanggil untuk menjadi murid Yesus dan diberi peran yang berbeda tetapi sama-sama penting. Jika kita mendalami apa yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminyaki kepala Yesus, Dia dengan tegas mengatakan bahwa perbuatannya itu akan diberitakan sepanjang zaman (Mark.14:). Sikap para perempuan yang mengikut Yesus sangat berbeda dengan para murid yang laki-laki itu ketika Yesus diadili dan disalibkan.
Petrus yang mengatakan akan mengikuti Yesus sampai mati justeru dengan mudah menyangkal Yesus. Padahal perempuan-perempuan itu mengikuti Yesus sampai ke Golgata, melihat di mana mayat Yesus diletakkan supaya mereka dapat mengurapinya keesokan harinya. Para perempuan yang pergi ke kubur Yesus pada pagi-pagi buta itulah saksi pertama tentang kebangkitan Yesus Kristus pada saat mana murid-murid laki-laki pergi entah ke mana dalam keadaan takut dan frustrasi.
Oleh sebab yang berkumpul di Yerusalem pada saat kenaikanNya itu sebanyak lima ratus orang, maka ketika Tuhan Yesus mengutus murid-muridNya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia setelah kebangkitan itu (Mat.28:19-20; Mark.16:16-18), pengutusan itu tidak hanya ditujukan kepada murid-murid laki-laki saja tetapi kepada semua muridNya termasuk perempuan. Peran perempuan dalam pemberitaan Injil pada masa masa awal sangat menonjol. Tabitha/Dorkas membantu pekerjaan pemberitaan Paulus dengan menjahitkan pakaian bagi janda-janda (Kiss. Walaupun pada satu pihak Paulus mengatakan agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan (1 Tim.2:8-15) tetapi pada sisi lain dia menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki itu sama sebagaimana tertulis dalam Gal.3:28: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Bahkan beberapa perempuan disebut sebagai pelayan Tuhan (Febe, Rm 16:1), teman sekerja (Priskila, Rm 16:3), diperlengkapi oleh Roh Allah untuk bernubuat (Kisah 2:14-18). Masih banyak lagi tokoh perempuan yang disebutkan dalam Alkitab untuk menujukkan peran penting perempuan sejak dahulu dalam sejarah penyelamatan Allah.
Namun, meski Alkitab menunjukkan fakta-fakta tersebut, banyak kelompok gereja yang “masih setengah hati” menerima keseteraan itu. Nats-nats Alkitab yang “seolah-olah” merendahkan martabat perempuan (mis. Ef.5:22: hai isteri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan; 1Tim 2:8-15, dsb) dipahami secara sangat sederhana dan harfiah sehingga sampai sekarang pembatasan-pembatasan kepada perempuan dalam pelayanan masih sering terjadi.
Padahal perlu ditekankan bahwa ayat-ayat Alkitab seharusnya didekati dan dipahami secara kontekstual. Ada konteks mengapa Paulus pada satu sisi perlu memberi tekanan terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi pada sisi lain dia menekankan kesamaan derajatnya.
Oleh sebab itu, gereja-gereja harus senantiasa mengajarkan “keberhargaan” perempuan di hadapan Allah, dan panggilannya di dalam pelayanan. Kita harus membaca nats-nats Alkitab dengan memhami konteks di mana umat Allah berada pada waktu itu serta persoalan-persoalan yang mereka harus hadapi di tengah-tengah masyarakat. Tetapi perempuan itu sendiri pun harus bangkit untuk memperjuangkan keberhargaannya itu dengan memperlengkapi dirinya sendiri. Pintu untuk perempuan sudah terbuka lebar, tetapi bagaimana perempuan menyikapinya? Keikutsertaan perempuan dalam “haparhaladoon” Kehadiran para missioner dari Jerman di tanah Batak memberikan berkat yang luar biasa kepada orang-orang Batak secara keseluruhan (laki-laki, perempuan dan anak-anak). Mereka tidak hanya membacakan ceritera Alkitab tetapi mengajarkan kesehatan dan memberikan pelajaran sejarah dunia dan pengetahuan umum kepada anak-anak. Isteri para misonar pun aktif memberikan pendidikan tentang kesehatan kepada perempuan, bagaimana merawat anak-anak dan keluarga.
Hester Needham, seorang perempuan berkebangsaan Inggeris yang disebut sebagai “perempuan misi,” yang diutus oleh RMG (sekarang UEM) pada tahun 1890 menjadi berkat besar bagi orang Batak khususnya perempuan. Apalagi setelah dua perempuan misi lainnya yakni diakones Lisette Niemann dan Thora van Wedel-Jarlsberg pada tahun 1891 datang ke tanah Batak untuk mendukung Hester Needham, pelayanan kepada kaum perempuan pun semakin berbuah. Hingga tahun 1914 sudah tiga puluh suster misi yang diutus RMG bekerja di tanah Batak. Maka dapat dibayangkan keberhasilan mereka yang luar biasa untuk memajukan perempuan Batak (agar lebih jelas baca Irene Girsang & Julia Besten, Menabur Kasih Berbuah Berkat, UEM, 2011). Harus diakui, dengan kehadirian dan keberhasilan perempuan misi itu maka perempuan Batak tidak serta merta langsung diterima menjadi “parhalado” di HKBP.
Pada awalnya hingga beberapa saat kemudian hanya laki-laki yang ditahbiskan menjadi sintua, guru dan pendeta. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa pandangan orang Batak tentang kedudukan perempuan “hanya bekerja di dapur dan melayani suami serta menjaga anak-anak di rumah” secara berangsur-angsur berubah. Namun sekalipun perempuan belum diterima menjadi “parhalado” sejak berdirinya jemaat-jemaat HKBP peran perempuan di dalam pelayanan gereja sangat penting. Ternyata “punguan ina” merupakan kelompok jemaat yang “mampu bertahan” dan merupakan tulang punggung pelayanan jemaat. Kesadaran tentang perlunya parjamita ina mendorong HKBP untuk mendirikan Sekolah Bibelvrouw pada tanggal 1 Agustus 1934. Tanggung-jawab “parjamita ina” sangat penting sebab mereka secara khusus ditugaskan untuk melayani anak-anak Sekolah Minggu, remaja, pemudi dan kaum perempuan.
Berhubung tugasnya sebagai pengajar sekolah minggu maka harus diakui keterlibatan “parjamita ina” dalam pertumbuhan jemaat HKBP sangat besar. Keikut-sertaan perempuan dalam pelayanan di HKBP menjadi semakin signifikan dengan berdirinya Sekolah Diakones di Balige pada tahun 1971. Semua peserta didik Sekolah Diakones adalah perempuan. Dengan demikian ada dua jenis tohonan pelayan yang hanya diberikan kepada perempuan yakni Bibelvrouw dan Diakones. Sebagaimana tertera dalam Aturan dan Peraturan tahun 1972 HKBP sebenarnya telah membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi sintua, tetapi belum banyak yang tertarik (bersedia) menjadi sintua.
Tetapi sejak tahun 1980-an, jemaat-jemaat HKBP benar-benar didorong untuk mengikutsertakan perempuan dan pemuda menjadi sintua. Sejak saat itu jumlah perempuan yang menjadi sintua semakin banyak. Bahkan di beberapa jemaat HKBP jumlah sintua “ina” jauh lebih banyak dari sintua laki-laki. Pada tahun 1986, pendeta perempuan pertama ditahbiskan di HKBP.
Sejak tahun 1986, semakin banyak anak-anak perempuan dari jemaat HKBP yang masuk ke Sekolah Tinggi Teologi dan kemudian jumlah pendeta perempuan di HKBP semakin meningkat. Sekarang ini kira-kira sepertiga dari pendeta HKBP adalah perempuan. Peran perempuan dalam pengembangangan pelayanan HKBP Sesuai dengan fostur tubuhnya, perempuan berbeda dari laki-laki.
Berdasarkan harkatnya, ada peran yang bisa dilakukan perempuan tetapi tidak bisa dilakukan laki-laki, demikian sebaliknya. Tetapi dalam pelayanan jemaat, pelayan perempuan tidak berbeda dari pelayan laki-laki.
Bahkan ada keistimewaan yang dimiliki oleh pelayan perempuan (secara umum) yakni pola pendekatannya sebagai ibu. Biasanya seorang ibu melakukan tugasnya dengan setia sampai selesai (mungkin istilah yang tepat adalah “nunut”, tidak mudah bosan), tidak mudah marah terbawa emosi. Jika suatu tugas dipercayakan kepada perempuan maka tugas itu akan dikerjakan sampai berhasil. Melihat jumlah pelayan perempuan HKBP yang sangat besar (sintua, bibelvrouw, diakones dan pendeta) seharusnya banyak hal positip yang dapat dikembangkan dalam pelayanan.
Apalagi harus diakui bahwa sebagian terbesar peserta ibadah minggu di hampir semua jemaat HKBP adalah perempuan. Sekalipun belum diteliti, menurut dugaan, tidak ada jemaat HKBP (termasuk jemaat kecil di desa) yang tidak memiliki “punguan ina” yang setia mengisi setiap ibadah minggu dengan persembahan puji-pujian (koor). Kita mudah menemukan jemaat HKBP yang “punguan ama-nya” tidak ada.
Menjadi pergumulan, bagaimana para pelayan perempuan dari semua arasy bisa bekerja sama (sinergis) untuk melakukan kerja sama dalam pelayanan. Sebagai contoh kita bisa melihat bahwa anggota “punguan ina” HKBP pada umumnya adalah para ibu yang sudah tua. Para ibu muda kurang terlibat dalam “punguan ina.” Perhatian untuk membina “punguan ina” dari kaum ibu muda apalagi perempuan karier masih sedikit. Padahal mereka adalah potensi jemaat. Sekalipun di beberapa jemaat ada “punguan ina” dari ibu-ibu muda, pada umumnya hanya dalam bentuk “punguan koor”.
Padahal seharusnya “punguan” itu harus melebihi “penampilan dalam bentuk koor” sebab mereka memiliki potensi yang sangat besar. Ini tentu membutuhkan keseriusan dan kerelaan untuk berbagi pemikiran dan pengalaman. Keseriusan seorang perempuan dan kesediaannya memberi waktu dalam pelayan di jemaat berbareng juga dengan tanggung-jawabnya sebagai seorang ibu dan isteri. Sebagaimana disinggung di atas, ada tugas dan tanggungjawabnya yang tidak mungkin digantikan oleh laki-laki. Oleh sebab itu, dia harus mampu membagi waktu dan perhatian untuk pelayanan di jemaat secara umum dan keluarga.
Keluarga juga merupakan jemaat Tuhan sehingga tidak boleh dilalaikan. Pelayanan di tengah keluarga merupakan bagian dari pelayanan kepada jemaat secara umum. Jika keluarga benar-benar hidup rukun, damai, sejahtera maka jemaat dan masyarakat pun akan seperti itu (band.
Dengan demikian sebelum seorang perempuan menjadi sintua anggota keluarga juga perlu disadarkan tentang pekerjaan pelayanannya sehingga mereka dapat mehamahinya sejak awal. Bahkan sangat baik jika keluarga (khsusunya suami) mendorong isteri untuk meningkatkan kemampuan dan talenta pelayanannya di jemaat Perempuan dalam Budaya Sebelum kita membahas perempuan dan budaya, kita tentu sudah memahami bahwa budaya berbeda dari adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah pikiran; akal budi.
Orang yang berbudaya (mempunyai budaya) adalah orang yang mempunyai pikiran dan akal budi yang sudah maju. Sedangkan adat adalah: (a) aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; (b) kebiasaan; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; (c) adat istiadat: segala aturan (tindakan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun. Namun jika kita berbicara tentang budaya itu adat tetap melekat. Secara khusus kita akan melihat kedudukan perempuan di tengah-tengah adat dan budaya Batak. Di kalangan orang Batak ukuran “gabe” adalah memiliki anak laki dan perempuan serta cucu-cucu. Jika satu keluarga (suami-isteri) hanya memiliki anak laki-laki tanpa perempuan maka keluarga itu belum disebut “gabe.” Dengan demikian, perempuan sangat menentukan dalam keluarga.
Tetapi bagi kita laki-lakilah yang menjadi penerus garis keturunan atau penerus silsilah. Karena itu keinginan untuk memperoleh anak laki-laki sangat besar. Untuk beberapa dekade semangat untuk memajukan anak laki-laki jauh lebih besar ketimbang anak perempuan, bahkan ada anggapan perempuan tidak perlu menempuh sekolah tinggi-tinggi sebab mereka juga akan menjadi isteri yang melakukan pekerjaan rumah. Oleh karena itu keberhasilan anak laki-laki merupakan kebanggaan bagi keluarga. Pola pemikiran bahwa laki-laki ‘lebih berharga’ dari perempuan dan ‘lebih pantas’ menjadi pemimpin lama sekali dianut oleh orang Batak. Kita juga mengetahui bahwa tatanan sosial kekeluargaan atau sistem kekerabatan Batak Toba, dibakukan dalam sistem Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga).
Dahulu tungku terdiri dari tiga buah batu di atas mana orang-orang menempatkan sarana untuk memasak. Dari situlah sistem kekerabatan orang Batak Toba dirumuskan. Sistem ini menempatkan setiap orang Batak Toba dalam bingkai: Hulahula, dongan sabutuha, dan boru. Dalam prinsip Dalihan na Tolu (tungku nan tiga) setiap orang akan pernah pada suatu saat sebagai hulahula, dongan sabutuha, atau boru. Dalam kontelasi prinsip Dalihan na Tolu itu, muncul juga penempatan status perempuan dalam budaya Batak Toba. Status hulahula-lah yang lebih tinggi, yang patut disembah dan dihormati.
![Rekomendasi Rekomendasi](/uploads/1/2/5/4/125424207/445088782.jpg)
Hulahula adalah Bona ni Ari (awal hari kehidupan). Sedangkan boru adalah pelayan. Mungkin pola pemikiran seperti inilah yang memicu banyak (bukan berarti semua) perempuan Batak digambarkan sebagai sosok pelayan yang mengerjakan semua hal sedangkan kaum laki-laki adalah sosok yang ”dilayani.” Namun, dalam pendahuluan buku Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (diterjemahkan dari disertasi berjudul “Das Amt in der Batak-Kirche” yang ditulis oleh Pdt. Andar Lumbantobing) disebutkan: “Menurut adat Batak, kedudukan kaum wanita tidak seperti apa yang dibayangkan orang, sebagai kereta gandengan dari mobil yang menariknya. Dia mempunyai kehendak sendiri; dia adalah pendamping dan sesama bagi suaminya, yang dalam tata laksana adat berbagi tugas dan kewajiban keluarga dengan sang suami.” Dan meskipun budaya Batak menganut aliran patrilinear (mengambil garis keturunan dari ayah/laki-laki), ada perumpamaan Batak yang menguatkan kedudukan perempuan yakni: “Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru” yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama. Penjelasan berikut juga akan memberikan gambaran yang jelas tentang kedudukan dan pengaruh perempuan dalam masyarakat Batak, Andar Lumbantobing, Wibawa Jabatan dalam Masyarakat Gereja Batak, (hal. Di antara empat dinding rumah, perempuanlah yang memerintah.
Dialah yang menyuruh suaminya menidurkan dan menjaga anak mereka. Dia jugalah yang menunjuk orang untuk mencari dan membelah kayu bakar, menumbuk padi dan mengambil air untuk memasak. Vergouwen juga berkata: “Di Tanah Batak pada tingkat pertama seorang ibu adalah ibu rumahtangga, tetapi sekaligus juga menjadi inanta soripada (ibu yang di dalam rumahnya harus dihormati oleh semua orang); dialah yang menjadi jiwa dan malaikat penolong untuk seisi rumahnya. Dialah yang memberi anak lelaki dan perempuan kepada suaminya, yang mengurus keperluan anak-anak dan rumahtangga, berusaha untuk menambah penghasilan keluarga, menyediakan makan dan minum untuk tamu supaya suaminya disegani dan rumahtangganya dihormati dan dipuji orang. Dialah yang disebut pardihuta (orang yang tinggal di kampung), yang mengurusi keperluan-keperluan di kampung, merawat rumah dan pekarangan. Dialah juga yang berjalan di depan sebagai orang pertama saat diadakan tortor (tarian) di acara adat sekaligus harus perempuan yang manghunti tandok (membawa dengan menjungjung “tandok” berisi boras si pir ni tondi dalam acara adat pernikahan atau eme na marlundu dalam acara adat orang meninggal). Ina Batak juga disebut sebagai “paramak so balunon, parsangkalan so ra mahiang” yang berarti orang yang suka menjamu tamu (“partamue”); dan “parbahulbahul na bolon” yang berarti suka memberi (tidak pelit).
Dengan perkataan lain, perempuan dalam masyarakat Batak sebenarnya bukan hanya sekedar pelengkap tetapi penentu. Di dalam upacara adat, laki-laki dan perempuan (suami dan isteri) harus hadir bersama-sama. Untuk memberikan dan menerima “ulos” pun sebenarnya suami dan isteri harus lengkap. Tetapi belakangan ini pemahaman sangat disederhanakan. Besar kemungkinan di dalam masyarakat banyak tugas dan tanggungjawab yang selama ini dianggap untuk laki-laki saja, akan mengalami pergeseran. Kenyataannya, jumlah para perempuan (ibu) menghadiri ibadah minggu jauh lebih besar dari laki-laki.
Belakangan ini perempuan (ibu) yang menghadiri pesta pernikahan serta upacara adat lainnya jauh lebih banyak dari laki-laki. Sering terjadi, yang memberi dan menerima “ulos” pun hanya perempuan (ibu), laki-laki (suami) tidak hadir. Melihat keadaan ini, bukan tidak mungkin bahwa ketua adat atau parhata akan digantikan oleh perempuan. Jalan untuk perempuan semakin terbuka luas, maka tergantung dari kaum perempuan itulah bagaimana menempuhnya. Perempuan di Tengah Masyarakat Plural Pluralitas adalah keberagaman. Kita mengetahui bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural.
Masyarakat yang beragam. Harus diingat pula, pluralitas di tengah-tengah bangsa Indonesia harus dipahami tidak sebatas keberagaman agama, tetapi pluralitas juga terkait dengan kepelbagaian suku, budaya, adat, bahasa dan sebagainya. Semua keberagaman itu merupakan kekayaan bangsa kita. Benar bahwa kita berbeda agama dan suku dari yang lain, tapi kita adalah satu bangsa yang disebut NKRI. Status ini harus benar-benar melekat kepada kita untuk menciptakan kebersamaan di tengah-tengah kenyataan yang plural tersebut. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang mempersatukan kita (berbeda-beda tetapi tetap satu).Tapi pada kenyataannya, banyak konflik yang muncul di antara kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Konflik agama yang mengakibatkan penutupan tempat ibadah dari kelompok minoritas di daerah kelompok mayoritas. Konflik semacam ini memicu timbulnya konflik lain seperti konflik antar suku di Poso (Sulawesi). Melihat situasi ini, bagaimana perempuan secara khusus perempuan HKBP menyikapinya?
Tanggal 8 Maret setiap tahunnya, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini dipelopori oleh PBB pada tahun 1975, untuk memperingati keberhasilan perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Untuk dapat sampai pada tingkatan ini, perempuan telah banyak melewati rintangan yang tidak mudah.
Lahirnya gerakan feminisme merupakan awal kebangkitan perempuan untuk ‘menggeser’ status sebagai makhluk kedua setelah laki-laki di dunia ini. Feminisme sendiri diartikan sebagai gerakan perjuangan kaum hawa untuk mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat dengan para laki-laki. Intinya adalah bagaimana cara meningkatkan status perempuan. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriakhal sifatnya.
Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan mengutip nats-natas kitab suci secara harfiah yang cenderung merendahkan kaum perempuan. Gerakan ini sukses menarik mata dunia untuk mulai ‘melihat’ potensi perempuan.
Suara perempuan mulai didengar. Pada tahun-tahun 1830 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan di Amerika, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Namun pada tahun-tahun berikutnya, muncullah gerakan feminisme radikal (gerakan ini juga dikenal sebagai Women’s Liberation atau Women’s Lib) yang terobsesi ‘hendak menghilangkan semua perbedaan yang ada antara perempuan dan laki-laki.’ Contoh lain bentuk “keradikalan” gerakan ini yakni mengganti redaksi doa “Bapa Kami Yang di Surga” menjadi “Ibu Kami yang Di Surga”. Tentu kita setuju, bahwa sebetulnya hal-hal yang demikian ‘tidak memiliki esensi’ sendiri untuk diperjuangkan kaum perempuan.
Inilah yang harus kita cermati sebagai Perempuan HKBP. Memang memperjuangkan kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, gaji yang layak, perumahan maupun pendidikan harus dilakukan, dan bahkan pemberian hak-suara kepada kaum perempuan juga harus diperjuangkan, tetapi perempuan juga harus sadar bahwa secara kodrati (sifat asli; sifat bawaan) mereka lebih unggul dalam kehidupan sebagai pemelihara keluarga. Tetapi belakangan muncul pendapat baru karena perempuan harus bekerja maka kaum laki-laki yang harus tinggal di rumah memelihara anak-anak dan memasak. Selain itu, jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis dan tidak bisa kita terima.
HKBP sendiri gencar mencetuskan tema kesetaraan gender, menanamkan pemahaman bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan Allah adalah sama, dan bahwa perempuan adalah mitra kerja laki-laki yang harus dipahami dalam pengertian ada hal-hal yang memang harus dikerjakan perempuan dan ada hal di mana laki-laki yang harus berperan. Namun harus kita pahami bahwa kesetaraan gender bukan berkaitan dengan jumlah. Pemahaman bahwa jumlah perempuan dan laki-laki dalam satu intansi tertentu harus seimbang (lima puluh persen berbanding lima puluh persen) tidak sesuai dengan makna perjuangan kesetaraan gender itu. Di Indonesia, kebangkitan kaum perempuan (bukan dimaksud gerakan feminisme) sudah berkembang sebelum kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan R.A Kartini yang mengusung tema emansipasi wanita. Perjuangan R.A Kartini secara tidak langsung membuat banyak perempuan terinspirasi olehnya dan mulai memunculkan gerakan-gerakan yang mengusung kesetaraan gender. Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu.
Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Kebangkitan perempuan di Indonesia tidak berhenti hanya dalam slogan. Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama kali dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928 yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan. Kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan sebagai upaya konsolidasi/memperkuat dari berbagai organisasi perempuan yang ada saat itu.
Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Setahun kemudian PPI diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Pada tahun 1932, dalam kongresnya, PPII mengangkat isu perjuangan melawan perdagangan perempuan dan salah satu keputusan penting yang diambil adalah mendirikan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A). Dan hingga kini, gerakan perempuan di Indonesia telah berhasil memperjuangkan banyak hal dalam bentuk pelembagaan dan perangkat hukum yang melindungi hak-hak perempuan dan upaya membebaskan perempuan dari tindak kekerasan.
Seperti: 1) Berdirinya Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keputusan Presiden No. 181/1998; 2) Pengakuan hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.; 3) Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor pembangunan; 4) disahkannya Undang-undang No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), sebuah aturan yang melindungi perempuan dalam pelbagai bentuk kekerasan; 5) Berdirinya sejumlah lembaga yang dibentuk pemerintah agar perempuan korban kekerasan dapat mengakses keadilan seperti Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang didirikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP). Selain itu, berdiri dan berkembangnya pusat-pusat pengadalayanan bagi perempuan korban yang didirikan oleh lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Kesemuanya hal ini menjamin keikutsertaan perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa ini. Menjadi pertanyaan kita sekarang adalah sebagai warga Negara Indonesia, apakah sumbangsih perempuan (secara khusus perempuan HKBP)? Menurut Meutia Hatta Swasono (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia) dalam tulisannya berjudul Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia: “Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Dalam keadaan yang kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.” Mudah-mudahan, perempuan yang dimaksud di atas termasuk perempuan di HKBP.
Catatan Akhir Pada catatan akhir ini saya ingin mengutip dua pernyataan penting: Pertama, “Di balik kesuksesan seseorang lelaki, berdiri seorang perempuan hebat!” Apa arti daripada ungkapan ini bagi perempuan di HKBP? Kedua, ungkapan dari Marianne Katoppo: “Lelaki yang bermutu tidak terancam oleh tuntutan perempuan akan kesamaan.” Artinya, para lelaki harus menyadari bahwa nilai mereka sebagai manusia sama sekali tidak terancam oleh kaum perempuan yang meminta agar diakui sebagai manusia juga. Kita berharap bahwa percakapan tentang kesederajatan, kedudukan perempuan dan peranannya di dalam gereja, adat-budaya dan masyarakat merupakan agenda rutin jemaat-jemaat kita.
Di berbagai tempat kebiasaan ‘mendiskreditkan’ perempuan masih terjadi. Lama sekali, perempuan mengalami masa-masa sulit unutk mengaktualisasikan dirinya karena telah direndahkan oleh kekakuan pemahaman terhadap budaya tempat ia hidup. Tapi pernahkan kita coba mengevaluasi bahwa tantangan yang dihadapi perempuan untuk mengembangkan dirinya juga bisa muncul dari perempuan itu sendiri?
Pernahkan kita mencoba mengakui bahwa ada sebagian dari diri perempuan itu sendiri yang sebenarnya memelihara kekakuan budaya itu? Perempuan harus menyadari hal-hal esensial apa yang harus dipertahankan dan mana yang perlu diubah. Hal ini benar-benar harus dipertimbangkan bila perempuan tidak mau terkungkung dalam mitos dan stereotype yang merugikan pengembangan dirinya sebagai manusia yang utuh.
Ini adalah awal untuk menciptakan generasi (laki-laki dan perempuan) yang mampu mengaktualisasikan dirinya, mampu menyadari posisi dan peranannya, mampu menerima perbedaan yang ada dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk bekerja sama menghasilkan kebaikan di tengah-tengah kehidupannya dalam gereja, lingkungan (dengan budayanya) dan masyarakat yang plural ini. Perempuan yang memiliki prinsip akan memberikan waktu sepenuhnya untuk mengurus keluarganya di rumah ketimbang bekerja di luar rumah harus dihargai.
Apa yang harus ditolak adalah adalah pemikiran bahwa hal tersebut merupakan peran yang tepat bagi seluruh perempuan. Perempuan juga harus belajar keluar dari penjara pola pemikirannya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh perempuan saat ini dalam proses pengaktualisasian dirinya di tengah-tengah kehidupan gereja, lingkungan (adat-budaya) dan masyarakat sekarang ini sebenarnya lebih banyak muncul dari perempuan itu sendiri. Dalam gereja HKBP misalnya, berbicara tentang haparhaladoon, perempuan sudah memiliki hak untuk itu.
Tapi apakah ada perempuan yang ‘mau’ menjadi parhalado? HKBP memiliki Biro Perempuan untuk mengoptimalkan pelayanan bagi kategorial perempuan. Namun, apakah perempuan sendiri sudah mencoba untuk ‘memberi perhatian sepenuhnya’ dalam pengembangan pelayanan gereja? Demikian juga dalam lingkungan adat-budaya, secara khusus budaya Batak.
Kita memang menganut paham patrilinear, tapi itu tidak menjadi penghalang bagi perempuan Batak untuk berperan dalam kehidupannya. Seperti disinggung di atas, mungkin belum ada perempuan yang menjadi “parhata” dalam adat.
Tetapi ada banyak peran penting lainnya misalnya mengajarkan anak-anaknya bahasa Batak, makna adat, dan sebagainya. Mudah-mudahan konferensi ini dapat mengusulkan berbagai hal penting yang akan direkomendasikan kepada jemaat-jemaat melalui Kantor Pusat HKBP untuk mendukung pelayanan holistik ke depan ini. Tuhan memberkati kita semua.